Coal bed methane (CBM) merupakan
sumber energi yang relatif masih baru. Sumber energi ini merupakan
salah satu energi alternatif yang dapat diperbaharui penggunaannya. Gas
metane yang diambil dari lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai
energi untuk berbagai kebutuhan manusia. Walaupun dari energi fosil
yang tidak terbaharukan, tetapi gas ini terus terproduksi bila lapisan
batubara tersebut ada. Kenapa? Yuk kita bahas sedikit.
Sebagaimana
kita ketahui, batubara di Indonesia cadangan dan produksinya cukup
menjanjikan. Dapat kita lihat pada gambar 1, dimana Indonesia termasuk
negara produsen batubara dunia.Gambar 1. Negara dengan cadangan dan produksi batubara terbesar di dunia.
Seiring bertambahnya kebutuhan akan energi, baik untuk listrik dan transportasi, negara-negara berkembang seperti Indonesia juga membutuhkan suatu energi alternatif yang dapat terus dikembangkan. Dapat kita lihat pada gambar 2, dimana kebutuhan akan energi untuk pembangkit listrik terus berkembang. Salah satu pembangkit listrik di dunia yang paling dominan adalah dari energi batubara.
Gambar 2. Sumber pemakaian energi untuk konsumsi listrik di dunia.
Berdasarkan
perkiraan dari sebuah institusi di Prancis, maka konsumsi energi di
dunia tetap akan memakai minyak, batubara dan gas sebagai energi primer
(gambar 3). Projeksi ini memberikan gambaran sebagaimana pentingnya
peran energi fosil sebagai energi yang ”harus” terbarukan. Kata-kata
harus disini mungkin tidak masuk akal, karena energi tersebut memang
habis dipakai (tidak dapat diperbaharui). Dengan adanya teknologi,
riset dan pemikiran baru, maka sebuah lapisan batubara dapat memberikan
sebuah energi baru berupa gas yang dapat kita pakai.Bentuk CBM sama halnya dengan gas alam lainnya. Dapat dimanfaatkan rumah tangga, industri kecil, hingga industri besar. CBM biasanya didapati pada tambang batu bara non-tradisional, yang posisinya di bawah tanah, di antara rekahan-rekahan batu bara.
Untuk memproduksi CBM, lapisan batubara harus terairi dengan baik sampai pada titik dimana gas terdapat pada permukaan batubara. Gas tersebut akan teraliri melalui matriks dan pori, dan keluar melalui rekahan atau bukaan yang terdapat pada sumur (gambar 4).
Air dalam lapisan batubara didapat dari adanya proses penggambutan dan pembatubaraan, atau dari masukan (recharge) air dalam outcrops dan akuifer. Air dalam lapisan tersebut dapat mencapai 90% dari jumlah air keseluruhan. Selama proses pembatubaraan, kandungan kelembaban (moisture) berkurang, dengan rank batubara yang meningkat.
Gambar 4. Kaitan antara lapisan batubara, air dan sumur CBM.
Gas biogenik dari lapisan batubara subbituminus akan dapat berpotensi menjadi CBM. Gas biogenik tersebut terjadi oleh adanya reduksi bakteri dari CO2, dimana hasilnya berupa methanogens, bakteri anaerobik yang keras, menggunakan H2 yang tersedia untuk mengkonversi asetat dan CO2 menjadi metane sebagai by produk dari metabolismenya. Sedangkan beberapa methanogens membuat amina, sulfida, dan methanol untuk memproduksi metane.
Aliran air, dapat memperbaharui aktivitas bakteri, sehingga gas biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir. Pada saat penimbunan maksimum, temperatur maksimum pada lapisan batubara mencapai 40-90°C, dimana kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan bakteri metane. Metane tersebut terbentuk setelah aliran air bawah tanah pada saat ini telah ada.
Apabila air tanah turun, tekanan pada
reservoir turun, pada saat ini CBM bermigrasi menuju reservoir dari
sumber lapisan batubara. Perulangan kejadian ini merupakan regenerasi
dari gas biogenik. Kejadian ini dipicu oleh naiknya air tanah atau
lapisan batubara yang tercuci oleh air. Hal tersebut yang memberikan
indikasi bahwa CBM merupakan energi yang dapat terbaharui.
Lapisan
batubara dapat menjadi batuan sumber dan reservoir, karena itu CBM
diproduksi secara insitu, tersimpan melalui permukaan rekahan,
mesopore, dan mikropore (gambar 5). Permukaan tersebut menarik molekul
gas, sehingga tersimpan menjadi dekat. Gas tersebut tersimpan pada
rekahan dan sistem pori pada batubara sampai pada saat air merubah
tekanan pada reservoir. Gas kemudian keluar melalui matriks batubara dan
mengalir melalui rekahan sampai pada sumur. Gas tersebut sering kali
terjebak pada rekahan-rekahan.Gambar 5. Kaitan antara porositas mikro, meso dan makro.
CBM juga dapat bermigrasi secara vertikal dan lateral ke reservoir batupasir yang saling berhubungan. Selain itu, dapat juga melalui sesar dan rekahan. Kedalaman minimal dari CBM yang telah dijumpai 300 meter dibawah permukaan laut.
Gas terperangkap pada lapisan batubara sangat bergantung pada posisi dari ketinggian air bawah tanah. Normalnya, tinggi air berada diatas lapisan batubara, dan menahan gas di dalam lapisan. Dengan cara menurunkan tinggi air, maka tekanan dalam reservoir berkurang, sehingga dapat melepaskan CBM (gambar 6).
Pada saat pertama produksi, ada fasa dimana volume air akan dikurangi (dewatering) agar gas yang dapat diproduksi dapat meningkat. Setelah fasa ini, fasa-fasa produksi stabil akan terjadi. Seiring bertambahnya waktu, peak produksi akan terjadi, saat ini merupakan saat dimana produksi CBM mencapai titik maksimal dan akan turun (decline).
Volume gas yang diproduksi akan berbanding terbalik dengan volume air. Bila volume gas yang diproduksi tinggi, maka volume air akan berkurang. Setelah peak produksi, akan terjadi fasa selanjutnya, yaitu fasa penurunan produksi (gambar 7). Seperti produksi minyak dan gas pada umumnya, fasa-fasa tersebut biasa terjadi. Namun demikian, seperti yang telah diuraikan, CBM dapat terbaharukan.
Gambar 8. Cadangan CBM Amerika.
Cadangan Coal Bed Methane (CBM) Indonesia saat ini cukup besar, yakni 450 TCS dan tersebar dalam 11 basin. Potensi terbesar terletak di kawasan Barito, Kalimantan Timur yakni sekira 101,6 TCS, disusul oleh Kutai sekira 80,4 TCS. Bandingkan dengan gambar 8, Amerika yang memiliki cadangan batubara cukup luas dan tersebar, hanya memiliki cadangan CBM yang relatif kecil.
Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan kandungan sekitar 8,4 TCS, Pasir/Asem (3 TCS), Tarakan (17,5 TCS), dan Kutai (80,4 TCS). Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah (101,6 TCS). Sementara itu di Sumatera Tengah (52,5 TCS), Sumatera Selatan (183 TCS), dan Bengkulu 3,6 TCS, sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TCS) dan Sulawesi (2 TCS).
Sebagai informasi, sumber daya terbesar sebesar 6,49 TCS ada di blok Sangatta-1 dengan operator Pertamina hulu energi methane Kalimantan A dengan basin di Kutai. Disusul Indragiri hulu dengan operator Samantaka mineral prima dengan basin Sumatera Selatan yang mempunyai sumber daya 5,50 TCS, dan sumber daya paling rendah terlatak di blok Sekayu yang dioperatori Medco SBM Sekayo dengan basin Sumatera Selatan, dengan sumber daya 1,70 TCS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar